Oleh Yurisman Malalak
MENELUSURI SEJARAH perkembangan agama Islam di Minangkabau memang tidak bisa dilepaskan dari andil ulama besar Syekh Burhanuddin. Bahkan pengaruhnya di sebut sebut tidak hanya sebatas Minangkabau saja, melainkan lebih luas lagi mencakup beberapa daerah di Nusantara bahkan juga beberapa sampai ke negara di Asia Tenggara. Hanya saja bila kita mau menilik simpul sejarah semua ternyata bermula dari sebuah surau tuo yang terletak di Korong Ulaan Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padangpariaman.
Syekh Burhanuddin sendiri merupakan anak dari pasangan Pampak dan Cukiah asal Pariangan Padangpanjang. Sebelum menetap dan mengembangkan ajaran agama Islam di Tanjuang Ulaan, Syekh Burhanuddin bersama orang tuanya pernah tinggal di daerah Sintuk. Seperti penelusuran media ini, surau tua peninggalan Syekh Burhanuddin berukuran sekitar 15 X15 meter yang terletak di lahan seluas 3,5 HA itu, saat ini masih berdiri kokoh. Konon kabarnya tiang surau Syekh Burhanuddin sendiri terbuat dari kayu Tarekh Jiwa.
Bahkan meski tiangnya telah mulai lapuk dimakan usia, namun surau tua tersebut seolah masih kuat bertahan menampung ratusan peziarah yang biasanya selalu ramai mengunjungi kompleks surau tersebut setiap musim basafa tiba. Keberadaan surau tua peninggalan Syekh Burhanuddin seakan berbanding lurus dengan peran penting Syekh Burhanuddin dalam mengislamkan masyarakat Minangkabau, sehingga mereka mau beralih dari paham agama yang mereka anut sebelumnya, yaitu paham ajaran Hindu dan Budha serta kepercayaan dan paham paham animisme lainnya.
Konon kabarnya, Surau tua Syekh Burhanuddin yang terdapat di Tanjung Medan Ulaan bukanlah satu satunya surau yang terdapat di kompleks tersebut, melainkan pada zaman Syekh Burhanuddin di kompleks tersebut sedikitnya terdapat sekitar 101 surau termasuk surau Syekh Burhanuddin yang ukurannya relatif lebih besar dibanding surau surau lainnya. Hanya seiring perjalanan waktu, surau surau di sekilingnya kini hanya tinggal cerita, karena satu satunya surau yang masih bertahan hanyalah surau gadang milik Syekh Burhanuddin.
Terkait keberadaan ratusan surau yang dulunya ada di sekitar surau tua Syehk Burhanuddin seperti diakui Bustami Tuanku Majo lelo, merupakan perwakilan dari sejumlah daerah daerah di belahan bumi Minangkabau. Mereka disebutkan mulai berdatangan ke kompleks surau Syekh Burhanuddin, setelah Syekh Burhanuddin mendapatkan izin resmi dari penguasa Raja Alam Minangkabau ketika itu untuk mengembangkan agama Islam di Bumi Minangkabau.
Semasa Syehk Burhanuddin masih hidup surau tersebut juga sekalian dimanfaatkan sebagai tempat tinggal. Terlebih sampai akhir hayatnya Syekh Burhanuddin sendiri dikabarkan tetapdengan kesendiriannya atau tidak berkeluarga. Makanya tak heran, hingga akhir hayatnya, Syekh Burhanuddin sama sekali tidak mempunyai keturunan. Di surau tua itu pula Syekh Burhanuddin pertama kali menanamkan paham ajaran agama kepada murid-murid dan pengikutnya.
Untuk mencapai surau tua Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulaan sebenarnya tidaklah terlalu sulit hanya berjarak sekitar delapan kilometer dari pusat Kota Pariaman. Bagi pengunjung yang datang dari arah Kota Padang, bisa melewati Simpang Empat Pauah Kamba yang hanya berjarak sekitar 6 kilometer.
Bagi pengendara roda dua juga bisa melewati rajang yang menghubungkan antara Tanjuang Medan dan Kampuang Galapuang Ulaan. Sementara bagi yang mengendarai roda empat bisa melewati jalan melingkar, melewati Pasar Gampuang Galapuang yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari kompleks surau Syekh Burhanuddin.
Menyaksikan dari dekat surau tua peninggalan Syekh Burhanuddin memang tidak jauh berbeda dengan surau surau pada umumnya. Namun bila diselidiki lebih jauh ada fakta menarik yang relefan dengan keberhasilan Syekh Burhanuddin dalam mengislamkan masyarakat Minangkabau ketika itu.
Sepintas kekhasan yang terdapat pada Surau tersebut memang tidak begitu kentara. Karena ditutup dengan tikar pandan. Hal itu setidaknya terlihat melalui kehadiran tiga buah tiang yang dengan kondisi menggantung pada bagian atas bangunan surau tua tersebut.
Uniknya berbeda dengan tiang lainnya yang langsung menancap ke bagian tanah yang terdapat di bawah bangunan surau tua tersebut. Ke tiga buah tiang tersebut justru dipasang menggantung begitu saja, seolah menancap dengan kuatnya ke ujung langit.
Tiang menggantung yang ada di atas surau ini memang sengaja ditutup dengan tikar pandan, karena untuk mengantisipai adanya tahi burung yang jatuh ke lantai.
Konon menurut yang empunya cerita, keberadaan tiga buah tiang gantung yang sengaja dipasang di atas bangunan surau ini, menunjukkan bahwa antara surau Syekh Burhanuddin Ulaan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerajaan Pagaruyung yang berpusat di Batu Sangkar.
"Tidak jauh berbeda dengan surau tua Syekh Burhanuddin, pada bangunan istano pagaruyung juga terdapat tiang menggantung. Hanya bedanya, tiga buah tiang menggantung yang terdapat di istano Pagaruyung berada di bagian bawah bangunan istana, sementara tiga tiang menggantung yang ada di surau tua Syekh Burhanuddin Ulaan justru dipasang pada bagian atas bangunannya," demikian dijelaskan Bustami Tuanku Majo Lelo, yang juga keturunan dari salah seorang teman karib Syekh Burhanuddin semasa masih hidupnya, yaitu Idris Tuanku Khatib Majo Lelo.
Semasa Syekh Burhanuddin masih hidup, sosok Idris Tuanku Khatib Majo Lelo yang belakangan diangkat sebagai salah seorang khalifah pengganti Syekh Burhanuddin itu memiliki andil yang sangat besar dalam membantu tugas-tugas dakwah Syekh Burhanuddin dalam mengislamkan masyarakat Minangkabau pada masa itu.
Bahkan sebagai salah seorang pemuka masyarakat yang cukup berpengaruh di Tanjung Medan Idris Tuanku Khatib Majo Lelo, juga tercatat sebagai salah seorang figur penting dalam mendukung missi dakwah yang dijalankan oleh Syekh Burhanuddin. Belakangan sebagai pemuka adat yang berulayat di Tanjung Medan, maka berkat andilnya Syekh Burhanuddin akhirnya bisa menetap dan mengembangkan agama Islam di tempat itu, hingga akhirnya ajaran nur cahaya Islam yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin semakin berpijar hingga menerangi segenap bumi Minangkabau.
Bahkan, saat Syekh Burhanuddin pulang dari Aceh, setelah menamatkan pendidikannya dengan ulama besar tarekat Syattariah Syekh Abdurrauf Singkil, sahabat karib nya itu pula yang langsung menjemputnya ke Pulau Anso Duo di sekitar perairan Pantai Pariaman, untuk kemudian membawanya ke Tanjung Medan. Sebelumnya Syekh Burhanuddin sempat berguru kepada Syekh Abdul Alif atau yang dikenal dengan sebutan Tuanku Madinah di Gimba Nagari Tapakis Kecamatan Ulakan Tapakis.
Setelah berhasil menamatkan pelajarannya dengan Syekh Abdul Alif, selanjutnya ia menganjurkan Syekh Burhanuddin untuk melanjutkan pendidikannya kepada Syekh Abdurrauf di Aceh sehingga oleh gurunya itu Beliau akhirnya dianugerahi gelar Burhanuddin.
Sebelum menetap di Tanjung Medan, rombongan Syekh Burhanuddin sempat bermalam di Padang Lagundi Ulaan, yang berjarak sekitar 3 KM dari Tanjung Medan. Belakangan diketahui di tempat itulah Syekh Burhanuddin dimakamkan. Berdasarkan satu versi cerita yang berkembang di kalangan pengikut Beliau, bahwa lokasi pemakaman Syekh Burhanuddin di Padang Lagundi berawal dari tanah pemberian gurunya Syekh Abdurrauf Singkil yang konon langsung diterimanya dari gurunya Syekh Abdul Qushasi Madinah.
Setelah ditimbang tanah itu ternyata ternyata sama jenis dan beratnya dengan tanah yang ada di Padang Lagundi tempat pemakaman Syekh Burhanuddin. Sama halnya dengan tanah tempat didirikannya surau Gadang milik Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan. Keberadaan tiga buah tiang menggantung yang terdapat di bagian atas bangunan surau Syehk Burhanuddin seperti diakui Bustami Tuanku Majo Lelo tak lain menggambarkan sumber asli ajaran Islam yang berasal dari atas sana yang berasal dari Allah SWT selaku penguasa semesta alam.
Artinya, ajaran agama Islam yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin murni bersumber dari sang Khalik Allah SWT, sementara ajaran adat istiadat yang termanifestasi dalam ajaran undang atau kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat, adalah berasal dari kebiasaan yang terpancar dari bawah yang diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Melalui ajaran tersebut, Syekh Burhanuddin sebenarnya secara tidak langsung telah menanamkan kepada para pengikutnya, bahwa antara adat dengan dan syarak bukannya untuk dipertentangkan melainkan justru harus saling menguatkan satu sama lain.
Jumlah tiga buah tiang yang menggantung pada bangunan tersebut tak lain menggambarkan adanya perpaduan antara syarak adat dan undang, serta tiga tali sapilin yang mencerminkan kesatuan antara tiga tungku sajarangan yang ada di Minangkabau.
Setelah Islam semakin semakin berkembang lalu dibangun pula Masjid di Kampuang Koto, yang berjarak sekitar 2 KM dari suarau Gadang Syekh Burhanuddin Tanjung Medan, yang sekaligus merupakan masjid tertua di Minangkabau yang dibangun pada masa Syekh Burhanuddin. Sebelum itu, ada satu masjid lainnya yang dibangun di Gimba pada masa Syekh Abdul Alif gelar Tuanku Madinah.
Dalam mengembangkan ajaran Islam yang dibawanya, Syekh Burhanuddin sama sekali tidak pernah memaksakan keyakinannya kepada masyarakat, melainkan ia tetap berusaha mengikuti alur adat kebiasaan yang ada di tengah masyarakat. Sebagai contoh, saat acara jamuan yang berlangsung di Surau Gadang, ia tetap menerima setiap jamuan yang dibawa oleh penduduk kehadapannya. Tak peduli, apakah jenis makanan yang diberikan itu halal atau tidak menurut ajaran agama. Seperti gulai tikus, ular, daging babi, goreng belalang ayam dan sebagainya.
"Barulah saat acara makan bersama akan dimulai, saat itulah dia langsung memisahkan antara menu yang sesuai dengan ajaran Islam dan yang tidak, ketika orang bertanya kepadanya ia menyebutkan makanan tersebut sengaja disimpan untuk persediaan, barulah setelah acara jamuan selesai seluruh makanan yang tergolong haram tersebut langsung dilenyapkan," terangnya.
Seperti diakui Tuanku Qadhi Ali Amran, dalam mengembangkan dakwah Islam Syekh Burhanuddin berupaya memadukan antara ajaran syarak dan adat, itu ditandai kehadiran raja Tamin Alam di Tanjuang Medan yang bertugas mengatur tentang masalah adat istiadat yang berkembang di tengah masyarakat, sementara Syekh Burhanuddin sendiri bertanggung jawab penuh dalam hal hal pengembangan syarak. (*)
http://padang-today.com/?mod=berita&today=detil&id=11194
Basa Nan Barampek
Jumat, 25 November 2011
Kamis, 17 November 2011
Mengenang Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah
Yurisman Malalak
KETOKOHAN seorang Syekh Burhanuddin, ulama kharismatik, yang dikenal sebagai
pengembang ajaran agama Islam di Minangkabau memang tidak diragukan lagi.
Hal itu setidaknya terlihat dari berbagai literatur yang telah mengukir
ketokohan Syekh Burhanuddin dalam tinta emas sejarah, dalam mengembangkan
ajaran agama Islam di Minangkabau.
Kondisi itu sedikit bertolak belakang dengan sejarah perjalanan ulama-ulama
pelanjut perjuangan Syekh Burhanuddin.
Sebut misalnya sejarah murid-murid
atau pun para pengikutnya yang juga telah banyak berjasa dalam mengembangkan
ajaran agama Islam di kalangan masyarakat Minangkabau kala itu.
Sebut
misalnya Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah Kanagarian Kurai Taji
Padangpariaman. Yang dikenal sebagai Syekh Qadhi Lubuak Ipuah. Selain Qadhi
Lubuak Ipuah, juga dikenal dua Tuanku Qadhi lainnya.
Kehadiran Syekh Abdurrahman sendiri yang belakangan ditunjuk sebagai salah
seorang khalifah Syekh Burhanuddin setidaknya terlihat dari kehadiran surau
gadang Syekh Abdurrahman di Lubuak Ipuah Kurai Taji, yang sampai saat ini
masih berdiri dengan kukuhnya. Hanya saja seiring musibah gempa yang
mengguncang Kota Padangpariaman dan sekitarnya pada tanggal 30 September
2009 lalu, Surau Syekh Abdurrahman juga sempat mengalami retak-retak ringan
pada beberapa bagian bangunannya.
Surau peninggalan Syekh Abdurrahman sendiri sebelumnya memang sudah
direnovasi dari bentuk aslinya yang semula terbuat dari bahan kayu. Hanya
saja arsitektur dan bentuk bangunannya masih tetap dipertahankan.
Sama dengan khalifah Syekh Burhanuddin lainnya, Syekh Abdurrahman sendiri
juga di makamkan di Kompleks Makam Syekh Burhanuddin di Ulaan. Makanya,
warga yang ingin menziarahi Beliau lebih banyak ke kompleks makam di Ulaan.
Namun, pada waktu waktu tertentu sejumlah pengikut Beliau dari berbagai
penjuru di Minangkabau juga kerap menziarahi surau Syekh Abdurrahman di
Lubuak Ipuah.
Seperti diakui Tuanku Qadhi Abdurrasyid, selaku penerus dan pewaris ke
sembilan dari Syekh Abdurrahman, selain meninggalkan surau Syekh Abduurahman
semasa hidupnya juga meninggalkan beberapa kita tulisan tangan, termasuk Al
Quran tulisan tangan yang Beliau tulis sendiri.
"Tapi saat ini kondisinya telah banyak mengalami kerusakan, karena usianya
sudah begitu lama sehingga sebagian hurufnya tidak bisa lagi dibaca," ungkap
Tuanku Qadhi Abdurrasyid.
Buku peninggalan tulisan Syekh Abdurrahman lainnya, masing-masing kitab
nahu, tafsir risalah serta beberapa tulisan lainnya.
Dijelaskannya, Syekh Abdurrahman semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi
yang istiqamah serta kuat dalam pendirian. Adapun tugas dan tanggung jawab
nya lebih banyak berhubungan dengan masalah hukum hukum agama, termasuk
masalah yang berhubungan dengan nikah.
"Beliau itu dikenal teguh dalam pendirian. Makanya Beliau sangat tegas
dalam masalah halal atau haram," ungkap Tuanku Qadhi Abdurrasyid.
Semasa hidupnya Syekh Abdurrahman juga berperan sebagai suluah bendang dalam
nagari. Bahkan Beliau juga memiliki peran dalam menyelesaikan persoalan
persoalan yang berhubungan dengan masalah adat istiadat.
Dengan dasar itu pula semasa hidupnya Syekh Abdurrahman dikenal memiliki dua
kedudukan. Yaitu sebagai rajo adat dan syarak. Dengan keistimewaan itu pula
beliau ditetapkan sebagai Qadhi yang akan menyelesaikan berbagai
permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Semasa hidup Syekh Abdurrahman, Surau Syekh Abdurrahman di Lubuak Ipuah yang
dikenal juga sebagai Surau Gadang Kurai Taji, juga merupakan tempat
bersidangnya para tokoh ulama untuk menetapkan waktu maniliak bulan. Dari
situlah selanjutnya ditetapkan waktu pelaksanaan awal puasa Ramadhan yang
mempedomani bilangan khamsiah dan maniliak (melihat bulan,red).
Menurut Tuanku Qaqhi Abdurrayid, kiprah dan keberadaan Syekh Abdurrahman
sndiri setidaknya terangkum dalam ungkapan, kabek di Ulaan Kungkuang di
Tujuan Koto dan Pancuang Putiah di Lubuak Ipuh. Ungkapan itu lahir, ketika
para ulama Syattariah pada masa itu akan bersidang untuk menetapkan awal
pelaksanaan Ramadhan.
Setelah dilakukan beberapa pertemuan yaitu di Ulaan dan VII Koto, namun saat
itu ulama yang hadir tidak cukup. Makanya pertemuan di lanjutkan di Surau
Gadang Lubuak Ipuah. Barulah dalam pertemuan itu seluruh ulama berkesempatan
hadir, makanya saat itu juga berhasil diperoleh kata putus tentang penetapan
pelaksanaan awal waktu Puasa Ramadhan. (*)
http://padang-today.com/index.php?today=news&id=12588
KETOKOHAN seorang Syekh Burhanuddin, ulama kharismatik, yang dikenal sebagai
pengembang ajaran agama Islam di Minangkabau memang tidak diragukan lagi.
Hal itu setidaknya terlihat dari berbagai literatur yang telah mengukir
ketokohan Syekh Burhanuddin dalam tinta emas sejarah, dalam mengembangkan
ajaran agama Islam di Minangkabau.
Kondisi itu sedikit bertolak belakang dengan sejarah perjalanan ulama-ulama
pelanjut perjuangan Syekh Burhanuddin.
Sebut misalnya sejarah murid-murid
atau pun para pengikutnya yang juga telah banyak berjasa dalam mengembangkan
ajaran agama Islam di kalangan masyarakat Minangkabau kala itu.
Sebut
misalnya Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah Kanagarian Kurai Taji
Padangpariaman. Yang dikenal sebagai Syekh Qadhi Lubuak Ipuah. Selain Qadhi
Lubuak Ipuah, juga dikenal dua Tuanku Qadhi lainnya.
Kehadiran Syekh Abdurrahman sendiri yang belakangan ditunjuk sebagai salah
seorang khalifah Syekh Burhanuddin setidaknya terlihat dari kehadiran surau
gadang Syekh Abdurrahman di Lubuak Ipuah Kurai Taji, yang sampai saat ini
masih berdiri dengan kukuhnya. Hanya saja seiring musibah gempa yang
mengguncang Kota Padangpariaman dan sekitarnya pada tanggal 30 September
2009 lalu, Surau Syekh Abdurrahman juga sempat mengalami retak-retak ringan
pada beberapa bagian bangunannya.
Surau peninggalan Syekh Abdurrahman sendiri sebelumnya memang sudah
direnovasi dari bentuk aslinya yang semula terbuat dari bahan kayu. Hanya
saja arsitektur dan bentuk bangunannya masih tetap dipertahankan.
Sama dengan khalifah Syekh Burhanuddin lainnya, Syekh Abdurrahman sendiri
juga di makamkan di Kompleks Makam Syekh Burhanuddin di Ulaan. Makanya,
warga yang ingin menziarahi Beliau lebih banyak ke kompleks makam di Ulaan.
Namun, pada waktu waktu tertentu sejumlah pengikut Beliau dari berbagai
penjuru di Minangkabau juga kerap menziarahi surau Syekh Abdurrahman di
Lubuak Ipuah.
Seperti diakui Tuanku Qadhi Abdurrasyid, selaku penerus dan pewaris ke
sembilan dari Syekh Abdurrahman, selain meninggalkan surau Syekh Abduurahman
semasa hidupnya juga meninggalkan beberapa kita tulisan tangan, termasuk Al
Quran tulisan tangan yang Beliau tulis sendiri.
"Tapi saat ini kondisinya telah banyak mengalami kerusakan, karena usianya
sudah begitu lama sehingga sebagian hurufnya tidak bisa lagi dibaca," ungkap
Tuanku Qadhi Abdurrasyid.
Buku peninggalan tulisan Syekh Abdurrahman lainnya, masing-masing kitab
nahu, tafsir risalah serta beberapa tulisan lainnya.
Dijelaskannya, Syekh Abdurrahman semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi
yang istiqamah serta kuat dalam pendirian. Adapun tugas dan tanggung jawab
nya lebih banyak berhubungan dengan masalah hukum hukum agama, termasuk
masalah yang berhubungan dengan nikah.
"Beliau itu dikenal teguh dalam pendirian. Makanya Beliau sangat tegas
dalam masalah halal atau haram," ungkap Tuanku Qadhi Abdurrasyid.
Semasa hidupnya Syekh Abdurrahman juga berperan sebagai suluah bendang dalam
nagari. Bahkan Beliau juga memiliki peran dalam menyelesaikan persoalan
persoalan yang berhubungan dengan masalah adat istiadat.
Dengan dasar itu pula semasa hidupnya Syekh Abdurrahman dikenal memiliki dua
kedudukan. Yaitu sebagai rajo adat dan syarak. Dengan keistimewaan itu pula
beliau ditetapkan sebagai Qadhi yang akan menyelesaikan berbagai
permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Semasa hidup Syekh Abdurrahman, Surau Syekh Abdurrahman di Lubuak Ipuah yang
dikenal juga sebagai Surau Gadang Kurai Taji, juga merupakan tempat
bersidangnya para tokoh ulama untuk menetapkan waktu maniliak bulan. Dari
situlah selanjutnya ditetapkan waktu pelaksanaan awal puasa Ramadhan yang
mempedomani bilangan khamsiah dan maniliak (melihat bulan,red).
Menurut Tuanku Qaqhi Abdurrayid, kiprah dan keberadaan Syekh Abdurrahman
sndiri setidaknya terangkum dalam ungkapan, kabek di Ulaan Kungkuang di
Tujuan Koto dan Pancuang Putiah di Lubuak Ipuh. Ungkapan itu lahir, ketika
para ulama Syattariah pada masa itu akan bersidang untuk menetapkan awal
pelaksanaan Ramadhan.
Setelah dilakukan beberapa pertemuan yaitu di Ulaan dan VII Koto, namun saat
itu ulama yang hadir tidak cukup. Makanya pertemuan di lanjutkan di Surau
Gadang Lubuak Ipuah. Barulah dalam pertemuan itu seluruh ulama berkesempatan
hadir, makanya saat itu juga berhasil diperoleh kata putus tentang penetapan
pelaksanaan awal waktu Puasa Ramadhan. (*)
http://padang-today.com/index.php?today=news&id=12588
Langganan:
Postingan (Atom)